Berjalan Bersama Bunda Maria Menyongsong Tahun 2026
RD. Stephanus Turibius Rahmat (Rohaniwan Keuskupan Labuan Bajo – Manggarai Barat - Flores)
Katolik Terkini - Tahun 2025 sudah kita lalui bersama. Suka dan duka silih berganti selama perjalanan hidup kita di tahun 2025. Kita memiliki sejumlah capaian yang luar biasa di tahun 2025 yang patut disyukuri. Tetapi, ada juga kisah hidup yang kelam terjadi selama tahun 2025 yang perlu dievaluasi dan diperbaiki. Semua ini menjadi bagian integral dari sejarah kehidupan kita.
Harian Kompas, 31 Desember 2025 bahkan membuat catatan dengan judul “Selamat Tinggal Tahun yang Berat”. Kompas membuat survei dengan data bahwa selama tahun 2025 sebanyak 44 persen berita utama di Harian Kompas bersentimen negatif, 33 persen netral dan 23 persen positif.
Walaupun didominasi pemberitaan tentang situasi hidup berbangsa dan bernegara yang tampak khawatir, sedih, dan marah karena pelbagai kejadian yang terjadi sepanjang tahun 2025, mood sebagian pemberitaan itu masih juga merekam harapan dan optimisme. Artinya, di tengah kekhawatiran, kesedihan dan kemarahan yang terjadi masih tetap ada harapan untuk kehidupan yang lebih baik, damai dan penuh sukacita.
Dengan kata lain, kita tetap berdiri tegak di tahun penuh goncangan ini, sehingga bisa menikmati hidup dan kehidupan di tahun yang baru, tahun 2026.
Kita sudah memasuki hari pertama di tahun 2026. Tahun baru dengan harapan baru, resolusi atau tekad baru. Kita berkomitmen untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang belum terealisasi di tahun 2025. Kiranya tahun 2026 menjanjikan hal-hal baik dan menggembirakan bagi kita.
Kita mau hidup dalam damai sukacita yang dibawa Yesus, Sang Imanuel supaya bumi kita penuh damai. Yesus telah lahir di Betlehem. Betlehem tidak hanya sebatas lokus, tempat kelahiran Yesus, tetapi juga menjadi situasi atau suasana hati kita.
Kita harus pergi ke Betlehem hati kita yang baru. Hati yang penuh damai, saling mencintai dan mengampuni satu sama lain. Kita mau berjalan di tahun 2026 bersama Santa Perawan Maria Bunda Allah.
Pada hari ini, kita mensyukuri peranan Bunda Maria yang mendapat gelar sebagai Bunda Allah. Maria dipilih menjadi Bunda Allah (Theotokos). Jawaban Maria kepada Malaikat, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Bdk. Lukas 1:38) membuat Maria sempurna menyediakan diri dipakai oleh Allah dalam karya keselamatan untuk semua bangsa.
Karena itu, semua bentuk perayaan keagamaan yang kita lakukan di awal tahun 2026 (seperti perayaan Ekaristi, doa bersama) dapat menjadi jawaban kesanggupan kita untuk menempuh perjalanan waktu dengan penuh tanggung jawab sebagaimana Bunda Maria.
Bunda Maria menjadi teman setia dalam perjalanan hidup kita. Dia selalu setia mendoakan dan menemani kita dalam suka dan duka hidup kita setiap hari. Karena itu, kita harus belajar dari Maria tentang ketulusan hati dan kesetiaan pada rencana dan kehendak Allah.
Kita juga belajar dari Bunda Maria tentang sikap tenang, sabar dan diam dalam mengolah perkara atau persoalan hidup dengan hasil yang luar biasa. Bunda Maria tidak banyak bicara di saat menghadapi persoalan atau masalah apa pun.
Injil Lukas 2:16–21 mencatat bahwa “Maria menyimpan semua perkara itu dan merenungkannya dalam hatinya.” Maria mengajarkan kita cara beriman yang sangat manusiawi. Tidak tergesa-gesa menilai, tidak sibuk menjelaskan, tetapi memberi ruang di dalam hati. Maria tidak sepenuhnya memahami semuanya, tetapi ia percaya. Maria tidak menguasai rencana Allah, tetapi ia menyerahkan diri.
Pada awal tahun 2026 ini, sikap Maria terasa sangat dekat dengan hidup kita. Kita pun sering tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Ada harapan, tetapi juga kekhawatiran. Ada rencana, tetapi juga ketidakpastian.
Maria mengajarkan kita untuk tidak lari dari semua itu, melainkan menyimpannya di hadapan Allah, dengan iman yang tenang. Maria bukan tipe orang yang suka mencari panggung untuk mengumbar perkara atau masalah, tapi nihil solusi. Maria merespons semuanya dengan sikap tenang disertai komitmen untuk hanya mengandalkan kehendak Allah.
Karena itu, mari kita membangun harapan baru di tahun 2026 ini dengan terus berjalan bersama Bunda Maria. Tahun baru selalu merupakan awal pengharapan baru bagi banyak orang. Suatu momen khusus untuk membuat resolusi atau tekad baru.
Saat reflektif di mana orang memandang ke belakang, ke masa lalu (retrospeksi dan introspeksi), sekaligus menjadi saat prospektif, ketika orang mengarahkan pandangan ke depan. Orang Romawi ternyata sudah sejak lama memiliki kesadaran reflektif–prospektif ini.
Januari sebagai bulan pertama dalam tahun berasal dari nama dewa orang Romawi yakni Janus atau Januarius, seorang dewa yang mempunyai dua kepala dan masing-masing kepala mempunyai dua mata. Kedua pasang mata itu selalu memandang ke arah berlainan (ke depan dan ke belakang).
Dengan itu, dapat melihat secara menyeluruh. Itulah sebabnya, pada awal Januari, orang bisa melihat ke dua arah sekaligus, ke masa lampau sebagai kenangan yang indah, dan secara prospektif ke masa depan yang menjanjikan sejuta harapan dan resolusi baru.
Resolusi Tahun 2026
Belajar dari pengalaman hidup yang terjadi selama tahun 2025, pada tahun 2026 ini, kita harus mempunyai resolusi atau tekad bersama dan komitmen sebagai gerakan bersama untuk kehidupan yang lebih baik.
Kita semua masih dalam suasana sukacita Natal 2025. Karena itu, resolusi atau tekad bersama yang ditawarkan sebagai gerakan bersama di tahun 2026 masih dalam spirit Natal, kelahiran Yesus.
Pertama, Memperkuat Subsidiaritas dan Solidaritas
Natal adalah peristiwa solidaritas Allah terhadap manusia. Solidaritas Allah ini tampak nyata dalam diri Yesus Putra-Nya yang menjadi manusia. Dialah Immanuel. Allah beserta kita, yang mengambil bagian dalam perjalanan sejarah umat manusia, termasuk sejarah kelam penderitaan.
Setiap orang beriman dipanggil untuk memiliki semangat solidaritas, bela rasa (compassion) terhadap sesama yang menderita dan tak berdaya hidupnya.
Penderitaan menyadarkan umat manusia akan kesetaraan radikal sebagai makhluk yang rentan. Kesadaran bahwa manusia terbentuk dari materi yang sama dan rentan.
Kerentanan dan kerapuhan ini hendaknya memberikan imperatif etis kepada setiap manusia untuk menyapa sesamanya sebagai saudara dan saudari terlepas dari perbedaan agama, ras, suku, budaya, status sosial, dan bangsa. Kemanusiaan yang rentan itu menjadi basis persaudaraan dan solidaritas antarumat manusia.
Persaudaraan tersebut mendesak setiap orang untuk bersikap peduli terhadap yang lain terutama yang menderita lewat imajinasi, kreativitas, dedikasi, dan sikap dermawan.
Sikap subsidiaritas dan solidaritas berawal dengan mengakui dan menerima kodrat kerentanan bersama. Natal, kelahiran hendaknya menginspirasi kita untuk menjadi sakramen atau tanda kelihatan dari kehadiran Allah yang tak kelihatan di tengah dunia yang mengagungkan semangat individualisme.
Kedua, Menyalakan Lilin Kebaikan dan Semangat Cinta Kasih
Pada tahun 2025, ada banyak bencana alam yang merenggut banyak korban jiwa. Setiap umat Kristiani supaya menjadikan perayaan Natal tahun 2025 sebagai momentum untuk menyalakan lilin kebaikan dan semangat cinta kasih kepada para korban bencana.
Dalam menghadapi cobaan berat ini, umat Kristiani diharapkan agar tidak berputus asa. Tradisi menyalakan lilin di rumah menyadarkan setiap umat Kristiani supaya tidak mudah hilang harapan serta mampu melampaui kecemasan dan kekhawatiran.
Momentum perayaan Natal tahun 2025 sebagai puncak tumbuhnya cahaya kesadaran baru untuk terus menyalakan lilin-lilin kebaikan di dalam diri supaya mampu menjadi manusia yang hidup saling mencintai, mengasihi, dan peduli. Cahaya lilin itu mengingatkan kita tentang kehadiran Tuhan yang selalu bersama kita, hadir di antara kita dan bekerja untuk pemuliaan diri umat-Nya.
Seluruh umat Kristiani diharapkan untuk tidak kehilangan harapan dan terus menyalakan lilin-lilin dalam hati di mana pun berada melalui lilin-lilin kebaikan, memberi cahaya dalam kegelapan, membawa semangat baru bahwa Indonesia bisa pulih dan bangkit kembali.
Penyertaan Tuhan Yang Maha Pengasih memampukan seluruh umat Kristiani untuk melampaui segala kecemasan dan kekhawatiran, bertransformasi untuk menghadapi masa-masa yang sulit.
Ketiga, Memperkokoh Nasionalisme
Kondisi yang bangsa Indonesia alami saat ini tentu menyadarkan kita sebagai makhluk yang rentan di tengah berbagai kekuatan duniawi. Kesadaran ini selayaknya menjadi basis persaudaraan dan solidaritas serta memperkokoh nasionalisme dan rasa persatuan kita sebagai bangsa yang majemuk.
Perayaan Natal dan tahun baru selalu membawa pesan persatuan dan kesatuan. Umat Kristiani sebagai bagian dari keseluruhan rakyat Indonesia perlu memperkokoh semangat nasionalisme.
Semangat nasionalisme ini menjadi begitu penting sebab seperti yang disampaikan oleh mendiang Paus Fransiskus bahwa dunia saat ini sedang berada dalam kondisi globalization of indifference atau globalisasi ketidakpedulian.
Kita harus menjadi orang-orang yang peduli dengan situasi kehidupan sekitar. Kondisi tersebut berdampak pada ketidakmampuan untuk berempati terhadap penderitaan orang lain.
Di tengah dunia seperti ini, Natal mendorong kita untuk menghidupi budaya bela rasa (compassion) dan belas kasih (mercy). Sikap bela rasa dan belas kasih yang autentik ditunjukkan Allah sendiri dalam peristiwa Natal.
Sebab dalam peristiwa Natal, Allah meninggalkan singgasana kekuasaan dan menunjukkan solidaritas-Nya yang radikal kepada manusia dengan mengambil bagian dalam ziarah hidup manusia. Allah turut hadir untuk merasakan penderitaan umat manusia dan bangsa Indonesia di tengah bencana kehidupan yang terjadi.
Karena itu, umat Kristiani dipanggil untuk mengaktualisasikan kasih dan solidaritas Natal ke dalam tatanan sosial dan paradigma ekonomi yang berkeadilan, ramah terhadap lingkungan, dan menjunjung tinggi martabat manusia sebagai citra Allah.
Dengan semangat ini, umat Kristen dapat semakin berkontribusi bagi pembangunan Indonesia sebagai sebuah rumah bersama, di mana kebhinnekaan tetap dihargai dan dihayati.
Ada sebuah ungkapan bijak bonum quo universalius, eo divinius yang memiliki arti “semakin universal suatu kebaikan, semakin ilahi adanya”. Ungkapan ini bermakna bahwa semakin banyak manusia yang mengalami suatu kebaikan, semakin sesuai dengan kehendak Allah.
Prinsip ini bersifat universal dan ada dalam ajaran semua agama. Prinsip ini bermakna bahwa tidak mengenal sekat-sekat suku, agama, ras, etnis, budaya dan tidak diskriminatif.
Mari kita berziarah bersama di tahun 2026 ini dengan memperkuat semangat subsidiaritas dan solidaritas, terus menyalakan lilin kebaikan dan cinta kasih, serta memperkokoh nasionalisme.
Resolusi atau komitmen seperti ini dibutuhkan dalam situasi dan kondisi bangsa kita yang sedang dilanda semangat individualisme, intoleransi, sikap antisosial, radikalisme serta globalisasi ketidakpedulian.
Selamat menempuh perjalanan panjang untuk mewujudkan tekad dan harapan baru di tahun 2026 bersama doa Santa Perawan Maria Bunda Allah dan berkat Tuhan Yesus, Sang Imanuel yang telah lahir dan tinggal bersama kita.
Allah yang tampak dalam diri Yesus, Sang Raja Damai hadir untuk menyelamatkan kita, keluarga-keluarga kita sepanjang tahun 2026.
SELAMAT TAHUN BARU 2026. TUHAN MEMBERKATI KITA SEMUA.

Posting Komentar