Ketika Paus Memberkati Komisi HAK KWI: Jejak Cinta dalam Semangat Nostra Aetate
Katolik Terkini - Sebuah momen penuh rahmat dialami oleh Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia (Komisi HAK KWI) ketika menerima berkat Yubileum Pengharapan dari Paus Leo XIV dalam rangka Selebrasi 60 Tahun Nostra Aetate.
Peristiwa bersejarah ini berlangsung di Aula Paulus VI, Vatikan, dan berlanjut dengan Baciamano, yakni perjumpaan pribadi dengan Paus, pada Senin (3/11/2025).
Perayaan 60 Tahun Nostra Aetate
Selebrasi 60 Tahun Nostra Aetate, dokumen Gereja yang menandai semangat dialog antaragama, menjadi salah satu momen penting dalam Yubileum Pengharapan Tahun 2025.
Perayaan ini dihadiri oleh para Kardinal, Uskup, Imam, biarawan-biarawati, umat beriman, serta tokoh lintasagama dari berbagai negara dan budaya.
Indonesia turut berperan dengan penampilan istimewa bertajuk “Kebaya Menari”, sebuah koreografi indah yang memadukan unsur Jawa, Bali, dan Sumatra (Aceh).
Keterlibatan anak-anak, remaja, orang muda, hingga orang dewasa dari berbagai bangsa menghadirkan suasana sukacita dan harmoni, menegaskan pesan utama Nostra Aetate: bahwa keberagaman adalah karunia yang patut dirayakan bersama.
Baciamano: Momen Penuh Haru Bersama Paus Leo XIV
Berkat kedua dan paling istimewa bagi Komisi HAK KWI terjadi dalam Audiensi Umum di Vatikan, ketika Uskup Christophorus Tri Harsono, selaku Ketua Komisi HAK KWI sekaligus anggota Dikasteri Dialog Interreligius (DDI) Vatikan, bersama Romo Aloys Budi Purnomo Pr, Sekretaris Komisi HAK KWI, mendapat kesempatan berjumpa langsung dan berjabatan tangan dengan Paus Leo XIV.
Dalam momen penuh makna itu, Romo Budi, yang didampingi Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Michael Trias Kuncahyono, mempersembahkan kepada Bapa Suci sebuah buku karyanya sendiri berjudul An Interreligious Ecotheological Leadership.
Paus Leo XIV menerima buku tersebut dengan penuh perhatian dan mengucapkan dalam bahasa Inggris,
“This is very important for the future! Wow, based on the Laudato Si’ Encyclical! Thank you very munch!”
Kata-kata spontan Bapa Suci tersebut menandakan apresiasi mendalam terhadap karya yang berakar pada ensiklik Laudato Si’, dokumen penting tentang keutuhan ciptaan dan tanggung jawab manusia terhadap alam semesta.
Ungkapan Syukur dan Haru
Dalam suasana haru, Romo Budi menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para pihak yang mendukung peristiwa bersejarah ini.
“Saya sangat berterima kasih kepada Bapak Uskup Antonius selaku Ketua Presidium KWI dan Bapak Uskup Christophorus selaku Ketua Komisi HAK KWI yang memberikan kesempatan kepada kami untuk menimba berkat Tuhan melalui Paus Leo XIV,” ujarnya.
Ia juga menambahkan, “Terutama, saya berterima kasih kepada Bapak Duta Besar Indonesia untuk Vatikan, Pak Trias, yang telah mengatur terjadinya Baciamano dengan Paus Leo XIV.”
Sementara itu, Mgr. Christophorus Tri Harsono menegaskan bahwa semua ini merupakan karya penyelenggaraan ilahi.
“Semua ini merupakan jalan Tuhan. Tuhan memperlancar segala sesuatunya di luar rancangan kita. Kami hanya berjalan mengikuti kehendak-Nya,” tuturnya penuh syukur.
Makna dan Warisan Nostra Aetate
Bagi Romo Budi, pengalaman ini bukan hanya sebuah kehormatan pribadi, melainkan berkat bagi seluruh Komisi HAK KWI dan bagi semua yang giat dalam dialog lintasagama di mana pun berada.
Ia menegaskan, pengalaman Baciamano menjadi simbol penguatan bagi semangat dialog, kerja sama, dan persaudaraan universal sebagaimana diajarkan dalam Nostra Aetate.
Dokumen Nostra Aetate, yang disahkan pada Konsili Vatikan II tahun 1965, merupakan salah satu teks paling progresif dalam sejarah Gereja Katolik. Dokumen ini mengajak umat Katolik untuk menghargai segala yang baik, benar, suci, dan indah yang terdapat dalam agama-agama dan kebudayaan lain.
Berdasarkan Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium (LG) 16, Gereja tidak menolak nilai-nilai kebenaran universal yang terpancar dari iman-iman lain, karena semuanya merupakan pancaran cahaya Kristus.
Enam puluh tahun kemudian, semangat Nostra Aetate terus hidup, dan kali ini, melalui tangan Paus Leo XIV, berkat Yubileum Pengharapan itu mengalir hingga ke Indonesia, meneguhkan kembali misi Gereja untuk menjadi jembatan kasih, perdamaian, dan dialog di tengah dunia yang majemuk.(AD)

Posting Komentar