Tragedi Bom Bunuh Diri di Gereja Damaskus: 25 Tewas, Umat Kristen Suriah Tuntut Keadilan
Katolik Terkini - Duka mendalam menyelimuti komunitas Kristen di Suriah setelah serangan bom bunuh diri mengguncang Gereja St. Elias di Damaskus pada Minggu (23/6/2025), menewaskan 25 orang dan melukai puluhan lainnya.
Serangan ini disebut sebagai tragedi sektarian paling berdarah di ibu kota Suriah sejak abad ke-19.
Upacara pemakaman utama digelar pada Senin (24/6/2025), di Gereja Salib Suci, kawasan Qassaa, Damaskus.
Pemakaman tersebut dipimpin oleh Patriark Ortodoks Yunani Yohanes X Yazigi, didampingi oleh Patriark Katolik Melkit Youssef Absi dan Patriark Katolik Suriah Ignatius Youssef III Younan, serta dihadiri ribuan umat dari berbagai denominasi Kristen.
Dalam homilinya, Patriark Yazigi menyebut serangan itu sebagai "pembantaian keji" dan menegaskan bahwa misa tersebut bukanlah pemakaman biasa.
“Hari ini bukan hari kematian, tapi hari kebangkitan. Doa kami adalah doa Paskah — karena iman Kristen tidak mati bersama para korban,” katanya penuh haru.
Beberapa jam setelah pemakaman, Vatikan melalui Kantor Pers resmi merilis pernyataan duka cita dari Paus Leo XIV.
“Sri Paus sangat berduka atas tragedi ini dan menyampaikan solidaritas tulus kepada semua keluarga yang terdampak,” bunyi pernyataan itu.
Paus juga menjanjikan doa bagi jiwa-jiwa yang telah berpulang serta kesembuhan bagi para korban luka.
Jenazah para korban kemudian dibawa kembali ke Gereja St. Elias — lokasi ledakan — untuk didoakan secara khusus sebelum dimakamkan di pemakaman Kristen.
Namun di tengah kesedihan, muncul gelombang kritik dari komunitas Kristen Suriah terhadap pemerintah. Mereka menyesalkan tidak adanya pernyataan duka nasional, penurunan bendera setengah tiang, atau pengakuan resmi bahwa para korban adalah “martir.”
“Ini tragedi nasional. Namun mengapa kami merasa tidak dianggap?”tanya Metropolitan Ephrem Maalouli dari Keuskupan Aleppo dalam surat terbuka kepada Presiden Ahmed al-Sharaa.
“Kami ingin mendengar kata-kata yang menyembuhkan dari seorang pemimpin, bukan keheningan yang membekukan.”
Nada serupa juga disampaikan Uskup Elias Dabbagh dari Gereja Katolik Yunani Melkit di Bosra dan Hauran:
"Kami menolak ucapan belasungkawa yang tidak menyebut korban sebagai martir. Mereka mati dalam iman. Mereka mati dalam gereja.”
Menurut para jurnalis dan aktivis Kristen lokal, keengganan pemerintah menggunakan istilah keagamaan seperti “martir” atau “rahmat” disebabkan oleh kekhawatiran akan reaksi kelompok tertentu dan tekanan ideologis internal.
Wakil Presiden Farouk al-Sharaa menghubungi Uskup Romanos al-Hanata untuk menyampaikan belasungkawa melalui telepon dan menjanjikan kunjungan pribadi. Namun Patriark Yazigi menyebut bahwa ucapan saja tidak cukup.
“Kami menghargai telepon itu, tetapi tragedi ini terlalu besar untuk dijawab hanya dengan kata-kata. Kami butuh kehadiran nyata,” ujarnya.
Meski diselimuti luka dan kekecewaan, umat Kristen Suriah tetap menunjukkan keteguhan iman. Di berbagai lingkungan Kristen, umat mengadakan doa bersama dan aksi damai sambil meneriakkan,
“Orang Kristen tidak takut mati, karena setelah kematian, ada kebangkitan.”(A
D)
Sumber: Catholic News Agency (CNA)
Posting Komentar