Bukan Sekadar Hiburan, Inilah 3 Pilar Festival Golo Koe 2025 di Labuan Bajo
Katolik Terkini - Dentuman gong dari tangan Uskup Labuan Bajo, Mgr. Maksimus Regus, menjadi tanda resmi dimulainya Festival Golo Koe (FGK) 2025 di Waterfront Marina Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Minggu (10/8/2025).
Perhelatan tahunan ini akan berlangsung hingga 15 Agustus, mengangkat tema "Merajut Kebangsaan melalui Pariwisata Berkelanjutan yang Sinodal dan Inklusif", menggabungkan unsur budaya, religiusitas, dan pariwisata berbasis nilai lokal.
Pembukaan FGK 2025 dihadiri berbagai tokoh penting, di antaranya Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng, Kepala Kantor KSOP Labuan Bajo, Direktur BOP Flores Labuan Bajo, Kapolres Manggarai Barat, Dandim, Danlanal, Kejari Mabar, dan Sekda Mabar.
Acara ini menjadi istimewa karena bertepatan dengan ulang tahun ke-24 Imamat Mgr. Maksimus Regus, yang dirayakan bersama seluruh masyarakat dan tamu undangan.
Kehadiran tokoh-tokoh lintas sektor mencerminkan bahwa FGK adalah ruang perjumpaan bersama, bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga untuk memperkuat solidaritas sosial dan spiritual.
Makna Tema Festival Tahun Ini
Wakil Bupati Manggarai Barat Yulianus Weng menegaskan, FGK adalah milik seluruh masyarakat Manggarai Barat.
Tiga pilar utama yang menjadi dasar pelaksanaan FGK 2025 adalah kebersamaan dalam kebhinekaan demi memperkuat semangat kebangsaan, pelestarian dan pemanfaatan potensi pariwisata secara bijak dan berkelanjutan, pelayanan inklusif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Menurutnya, tema tahun ini menegaskan bahwa FGK bukan hanya agenda budaya, tetapi juga ruang kolaborasi sosial, ekonomi, dan spiritual yang menjaga identitas lokal di tengah perkembangan zaman.
Uskup Maksimus: Pariwisata Harus Berlandaskan Keberlanjutan
Dalam sambutannya, Mgr. Maksimus Regus menekankan bahwa Labuan Bajo bukan hanya destinasi wisata kelas dunia, tetapi juga “titipan generasi masa depan” yang harus dijaga dari eksploitasi berlebihan.
Ia mengingatkan bahaya pendekatan profit-oriented yang semata-mata mengejar keuntungan tanpa memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan manfaat bagi komunitas lokal.
“Hasrat pada akumulasi profit akan menggiring keindahan pariwisata Labuan Bajo sekadar sebagai arena kerakusan, sulit menyisakan manfaat besar bagi masyarakat,” tegasnya.
Sejak empat tahun lalu, FGK menjadi narasi tandingan terhadap eksploitasi alam dengan mengusung pendekatan multi-perspektif: menggabungkan dimensi religius, kultural, ekonomi, dan lintas iman.
Festival ini menjadi ruang perjumpaan dan persaudaraan sosial yang menyatukan seluruh lapisan masyarakat.
Rangkaian Festival: Dari Prosesi Religi hingga Panggung Budaya
FGK 2025 diawali prosesi Patung Bunda Maria Assumpta Nusantara yang berkeliling ke setiap sudut Keuskupan Labuan Bajo sebulan sebelum pembukaan.
Rangkaian acara festival memadukan tarian dan musik tradisional Manggarai Barat, kuliner khas daerah yang memperkenalkan cita rasa local, dan simbol-simbol budaya dan kegiatan religius yang memperkuat iman.
Festival ini bukan sekadar tontonan, melainkan pengalaman menyeluruh bagi wisatawan untuk merasakan denyut kehidupan masyarakat lokal.
Toleransi dan Kebersamaan Lintas Budaya
FGK juga menjadi cerminan toleransi tinggi di Manggarai Barat. Masyarakat dari berbagai agama, suku, dan latar belakang budaya bekerja sama menyukseskan acara ini.
Nilai-nilai kebersamaan dan saling menghormati ini diharapkan dapat diwariskan kepada generasi muda sebagai modal sosial dalam membangun daerah.
Bagi masyarakat Manggarai Barat, FGK adalah bagian dari strategi pengembangan pariwisata berbasis budaya lokal. Wisatawan diundang tidak hanya melihat keindahan alam, tetapi juga mengenal kehidupan spiritual, nilai tradisi, dan keramahan penduduk.
Dengan mengandalkan potensi alam dan budaya yang kuat, FGK mendorong pariwisata berkelanjutan yang memprioritaskan kelestarian lingkungan (ekologis) dan pemberdayaan komunitas lokal.
Mgr. Maksimus menutup sambutannya dengan harapan agar FGK terus menjadi wadah kolaborasi antara pemerintah, gereja, komunitas lokal, dan pelaku pariwisata.
Labuan Bajo diharapkan dikenal dunia bukan hanya karena ikon Pulau Komodo dan panorama sunset-nya, tetapi juga karena budaya yang kaya dan masyarakat yang ramah.
“Keindahan Labuan Bajo adalah titipan generasi masa depan. Kita jaga, kita rawat, dan kita gunakan seperlunya saja,” pesannya.(AD)
Sumber : Komsos Keuskupan Labuan Bajo
Posting Komentar